suuzdon

00.54 Edit This 0 Comments »
Bismillahirrahmanirrahiim…
Subhanallah. Mungkin itulah kata yang harus aku ucapkan terlebih dahulu. Atau mungkin Allahu Akbar. Atau malah Astaghfirullahhal’adziim. Apapun, yang jelas aku pikir aku memang harus mengucapkannya semua.
Ceritanya begini, siang tadi seorang teman mengirimiku SMS. “Chub, kamu mau kerjaan ngajar di LP3I. Tadi aku ketemu sama orang LP3I katanay lagi butuh tenaga pengajar jurnalistik. Gimana?”
 Aku berpikir sebentar. Teringat sabda Rasulullah SAW “Bila seorang anak Adam wafat, maka amalnya terputus kecuali tiga hal:[1] Shadaqah jariah,[2] Ilmu yang bermanfaat dan [3] Anak shalih yang mendoakannya.(HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad. Sebenarnya aku sempat ragu untuk meng-iya-kan. Tapi kemudian aku ingat hadits itu lagi. Akhirnya aku jawab “Boleh juga. Kapan mau ketemu?” lalu aku dapat lagi sebuah SMS. Katanya nanti orangnya mau calling dulu ke dia.
 Siang hari, saat liputan di kantor kesbanglinmas temanku kembali mengirimiku SMS. “Chub, nanti ada orang LP3I mau hubungi kamu. Namanya Pak Jain. Nanti rembugan sendiri saja. OK?” Saat itu, aku tanpa sadar mengharap ada sebuah telpon yang menghubungiku. Makanya kemudian ketika ada sebuah SMS yang menyatakan bahwa dia adalah orang yang dimaksud temenku, aku langsung berpikiran jelek. Sebuah pikiran yang kemudian aku sesali beberapa jam kemudian. “Uh, masa LP3I kok nggak mau nelpon. Malah SMS. Nggak modal banget,” batinku saat itu.
 Tapi aku tetap membalasnya (tentunya tanpa marah2 dong). “Pada prinsipnya saya bisa. Bisa ketemu dimana ya pak?” tanyaku. Maksudku untuk membahas teknis dan persiapan yang harus aku lakukan. Dan dari hasil janjian saat itu, akhirnya kami janjian ketemu di kantor saya pukul 3. Saat itu, karena lelah berkeliling seharian mengurusi persiapan jalan sehat ultah kabupaten dan sekaligus liputan, aku menyempatkan diri untuk mengistirahatkan sel-sel tubuhku yang dehidrasi ditimpa sengatan matahari.
 Tanpa aku sadari, ternyata aku terlelap tidur di kamarku. Dan baru bangun pukul 15.11. Astaghfirullohhal’adziim. Betapa lemahnya kita para manusia. Hanya karena kenikmatan dalam lelapnya tidur saja, kita sampai melupakan janji. Aku akhirnya langsung bangkit dan ngebut ke kantor. Sekitar 15 menit kemudian aku akhirnya sampai. Tapi tak kulihat kendaraan yang mencirikan keberadaan orang LP3I. “Jangan-jangan orangnya kecewa dan akhirnya pergi,” batinku merasa bersalah.
 Setelah masuk ke kantor, ternyata memang tidak ada orang yang mencariku. Pikiran su’udzonku kambuh lagi. (ampuni diri yang lemah ini ya Allah). “Oo, ternyata tu orang juga telat. Wah kalo begini, dia pasti bukan orang yang bisa memegang janjinya,” batinku. Aku akhirnya masuk ke ruang rapat dan mengikuti rapat listing rutin.
 Baru lima menit masuk, aku dipanggil sekretaris redaksi karena ada orang yang mencariku. Aku yakin ini adalah orang LP3I yang dimaksud temanku. Tahu apa yang pertama kali diucapkannya setelah memperkenalkan diri? “Saya mohon maaf tidak tepat janji dan datang terlambat,” katanya tulus. Nyess…Tiba-tiba seperti ada segalon penuh air es yang menyiram tubuhku yang sedang panas karena cuaca yang memang sedang panas dan sedikit rasa jengkel. Aku langsung merasa sangat bersalah telah su’udzon padanya. Su’udzon mengiranya tidak tepat janji. Su’udzon menganggapnya tidak modal dan sebagainya.
 Semua prasangkaku langsung luruh begitu melihat wajahnya yang seperti memancarkan aura kesejukan karena seringnya terbasuh wudlu. Diam-diam aku beristighfar dalam hati. “Maafkan hamba ya Allah. Sungguh betapa lemahnya hati yang gemar berprasangka jelek ini. Maafkan hamba ya Allah…” Tanpa terasa mataku mengembun. Selapis kabut tiba-tiba juga menutupi mataku. Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja tidak malu melakukannya.
 Yang duduk di hadapanku adalah seorang lelaki yang, subhanallah..sangat sederhana. Kejengkelanku kenapa dia hanya meng-SMS aku langsung sirna. Yang ada di hadapanku adalah seorang suami yang ingin dekat dengan istrinya. Dia ingin berhenti bolak-balik Jakarta-Purwokerto setiap minggu. Dia lelaki yang sudah capek berjauhan dengan istrinya. Di hadapanku adalah seorang lelaki yang ingin hidup damai bersama istri dan anaknya. Di hadapanku duduk seorang lelaki yang memilih memulai usaha dengan membuka cabang dari perusahaan tempatnya bekerja selama puluhan tahun.
 Dengan penuh kerendahan hati dia bilang, bahwa usahanya memang belum mulai. Dia sedang mencari orang-orang yang akan dijadikannya tim untuk membuka usahanya. Dengan tulus, dia juga bilang, usahanya belum memiliki peralatan-peralatan canggih penunjang pembelajaran. Tapi dia siap berusaha mendapatkannya suatu saat. Dia juga bilang, apa yang dilakukannya mungkin tidak akan banyak menghasilkan uang. Itu sebabnya dia tak bisa menjanjikan banyak uang untuk membayarku.   Subhanallah…Aku baru pernah bertemu dengan orang sejujur ini. Orang yang mau menceritakan kejelekan dan kekurangannya pada orang yang mau diajaknya bekerja sama. Orang yang dengan penuh keterbukaan mengemukakan maksudnya tanpa rasa malu apalagi minder.
 ”Seperti di SMS saya sebelumnya, pada prinsipnya saya Insya Allah siap membagi sedikit ilmu yang saya punya. Kalau memang itu bisa bermanfaat bagi orang lain, saya siap membaginya,” kataku. “Subhanalloh. Alhamdulillah ya Allah. Allahu akbar,’ sahutnya penuh rasa syukur. Aku kembali dibuatnya tertegun. Berkali-kali aku mendengar dia berdzikir menyebut nama Allah. Tanpa canggung dan penuh ketulusan. Sebuah pertanda bahwa lafal-lafal itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
 Satu lagi yang membuatku sangat malu adalah saat dia berpamitan. Ternyata dia berjalan lurus ke arah jalan raya usai mengucapkan salam. “Masya Allah. Ternyata dia naik bis. Astaghfirullahal’adziim. Jadi ini kenapa aku tak melihat kendaraan lain di depan kantorku. Rupanya dia terlambat datang ke kantorku karena harus menunggu bis. Sekali lagi, ampuni aku ya Allah…
 Maha suci Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang baik seperti Pak Jain ini. Maha besar Allah yang telah mengatur pertemuan kami. Ampuni diri yang hina ini ya Allah. Diri yang selalu diliputi dengan prasangka. Diri yang selalu diselimuti kesombongan dan takabur. Terimakasih Pak Jain. Engkau menyadarkan aku betapa kita tak semestinya menghakimi orang jika belum benar2 bertemu atau mengenalnya.

0 komentar: