Kajaiban Naik Haji

22.18 Edit This 0 Comments »
Mungkin udah banyak yang pernah dengar cerita bahwa ada saja kejadian aneh dialami jemaah haji di tanah suci. Kata orang,di sana segala sesuatunya seakan-akan berbalas seketika,di depan mata. Pantang sekali berpikir buruk sedikit pun saat di sana karena bisa jadi apa yang kita pikirkan itu akan benar-benar menimpa kita. Padahal dalam situasi seperti itu (panas,rame,capek,dll) mudah sekali merangsang orang untuk mengeluh,mencaci,nggerundel,dsb. Kalo di Buddha ada yang namanya karma,ya mungkin semacam itulah..
Nenek saya bilang,beliau ‘dihukum’ Allah jadi nyasar berkali-kali saat akan keluar dari Masjidil Haram gara-gara sempat terbersit pikiran ‘ah gampang pintu ini nemuinnya’. Waktu itu beliau dan kakek berpisah di suatu pintu untuk sholat (kan tempat ibadah pria dan wanita dipisah) dan janjian kumpul di pintu yang sama setelah sholat. Rupanya gara-gara sempat ‘sombong’ tadi,beliau jadi dipersulit deh nemuin pintunya,padahal katanya dia yakin banget jalannya bener,tapi entah kenapa semua jalan dan pintu seolah-olah sama.
Ada juga kisah orang yang pernah ngomongin orang lain “hitam ya orang (nama daerah) itu”. Meskipun dalam hati,fatal juga akibatnya,anak dia yang lahir tak lama kemudian jadi berkulit hitam. Astaghfirullah..makanya mesti bersih banget hatinya kalo lagi haji. Kalo terlanjur,banyakin istighfar.
Yang menarik,kemaren saya dapat cerita naik hajinya salah satu bude (kakak ipar wanita dari mama) tentang pengalamannya. Bagi dia,hajinya sangat berkesan dan menyenangkan. Banyak kejadian dia dan suaminya dikasih barang sama orang dalam situasi yang tak terduga. Misalnya,dia lagi jalan dari hotel ke masjid tiba-tiba ada pembagian air minum gratis. Udah gitu katanya ada orang Turki tinggi (pembagiannya langsung dari atas truk) yang baik ngambilin dia berbotol-botol. Lumayan, air minum kalo beli di sana kan mahal. Pas teman-teman serombongan hajinya pengen ambil juga eh udah nggak ada dong truknya.
Di hari lain,dia juga lagi jalan ke asrama,tiba-tiba ada pembagian makan gratis. Dia dapat roti maryam yang konon super gede dan susu berliter-liter. Herannya, kejadian yang sama berulang lagi. Saat teman-teman di asramanya pengen dan pergi ke tempat yang sama,pembagian itu udah nggak ada.

Keberuntungan dia nggak sampai situ aja. Suatu hari dia lagi sholat di masjid terus ngeliatin ada tasbih lucu lagi dipake orang. Cuma dalam hati aja dia memuji tasbih itu. Tak disangka tak dinyana tanpa ba bi bu atau kenalan sebelumnya,pemilik tasbih itu tiba-tiba mendatanginya dan memberikan tasbihnya sebagai cindera mata dari negaranya. Uwoow..
Lain hari lagi, kejadian mirip berulang. Kali ini ada ibu-ibu cantik dari timur tengah yang pakai gelang-gelang imitasi segambreng (katanya hampir sampai siku). Dia hanya melihat,tiba-tiba si ibu datang menyapanya,melepas semua gelangnya,lalu memaksanya untuk menggunakannya. Oleh-oleh kata si ibu. Bude saya aja bingung gelang itu mau diapakan. Wong dia nggak pernah make begituan. Haha.
Tawaran menginap dan makan gratis di rumah pemilik agen haji yang dia gunakan juga aneh,soalnya yang diajakin dari orang serombongan hanya dia dan suaminya aja. Subhanallah. Dia menduga semua kejadian aneh tak terduga itu karena dia suka ngasih-ngasih ke orang selama ini. Jadi di sana dibalasnya begitu.
Selain banyak ketiban rezeki,dia juga bersyukur sama suaminya happy-happy terus selama di sana. Katanya banyak pasangan yang suka berantem selama berpeluh-peluh di sana (sekamar kan campur banyak keluarga). Dia pun dengar dari kisah-kisah pasangan yang sudah haji sebelumnya,ujian seperti itu kerap terjadi,bahkan ada yang sampai minta cerai. Naudzubillah. Bisa jadi keseharian mereka yang biasa ribut ditampakkan di situ oleh Allah. Bude saya sendiri konon dikira orang-orang pengantin baru saat itu,abis mesra banget ke mana-mana selalu bareng suaminya. So sweet..berasa honeymoon di Mekkah kali ya :D
Tak ketinggalan bude saya punya kisah tentang hubungan dengan keluarganya di Indonesia. Suatu saat dia ketemu salah seorang ibu yang menangis hebat. Katanya ingat anak. Menurut pengakuan si ibu,dia selalu murung selama ibadah di sana karena nggak bisa berhenti memikirkan anak-anaknya yang masih SD dan SMP. Ketika ditanya,ia tidak pernah telpon mereka selama haji karena takut pecah tangisnya dan malah bikin anak-anaknya sedih. Bude saya yang saat itu sedang meninggalkan empat anaknya segera menghibur si ibu. Ibu itu langsung diam dan terpana,heran sama bude yang tenang-tenang saja walaupun ninggalin anak keempatnya yang masih tiga bulan. Si ibu langsung menuruti saran bude untuk telpon anaknya dan dia berhasil telpon dengan suara tegar. Hebat!
Begitulah sekelumit cerita lain tentang pergi haji dan ajaib-ajaibnya yang kalo kita gali,akan banyak sekali kisah dapat kita temui. Siapin diri yuk dari sekarang biar ntar kalo dapat panggilan ke sana bisa jadi orang yang sabar dan penuh berkah

Syahadat

22.01 Edit This 0 Comments »

Makna La ilaha illallah
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 45
Makna syahadat la ilaha illallah adalah meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah, konsisten dengan pengakuan itu dan mengamalkannya. La ilaha menolak keberhakan untuk diibadahi pada diri selain Allah, siapapun orangnya. Sedangkan illallah merupakan penetapan bahwa yang berhak diibadahi hanyalah Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda haqqun illallah atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga keliru apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’ Karena pada kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan kalau pemaknaan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan maka itu artinya semua peribadahan orang kepada apapun disebut beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah kebatilan yang sangat jelas.
Kalimat syahadat ini telah mengalami penyimpangan penafsiran di antaranya adalah :
  • Pemaknaan la ilaha illalah dengan ‘la ma’buda illallah’ tidak ada sesembahan selain Allah, hal ini jelas salahnya karena yang disembah oleh orang tidak hanya Allah namun beraneka ragam
  • Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la khaliqa illallah’ tidak ada pencipta selain Allah. Makna ini hanya bagian kecil dari kandungan la ilaha illallah dan bukan maksud utamanya. Sebab makna ini hanya menetapkan tauhid rububiyah dan itu belumlah cukup.
  • Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la hakimiyata illallah’ tidak ada hukum kecuali hukum Allah, maka inipun hanya sebagian kecil maknanya bukan tujuan utama dan tidak mencukupi.
Sehingga penafsiran-penafsiran di atas adalah keliru. Hal ini perlu diingatkan karena kekeliruan semacam ini telah tersebar melalui sebagian buku yang beredar di antara kaum muslimin. Sehingga penafsiran yang benar adalah sebagaimana yang sudah dijelaskan yaitu : ‘la ma’buda haqqun illallah’ tidak ada sesembahan yang benar selain Allah
Makna Muhammad Rasulullah
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46
Sedangkan makna syahadat anna Muhammadar rasulullah adalah mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau adalah hamba dan utusan-Nya yang ditujukan kepada segenap umat manusia dan harus disertai sikap tunduk melaksanakan syari’at beliau yaitu dengan membenarkan sabdanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunannya.
Rukun dan Syarat Syahadat
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46-48
La ilaha illallah terdiri dari dua rukun : nafi/penolakan, yaitu yang terkandung di dalam la ilaha dan itsbat/penetapan, yaitu yang terkandung dalam illallah. Maka dengan la ilaha dihapuslah segala bentuk kesyirikan dan mengharuskan mengingkari segala sesembahan selain Allah. Sedangkan dengan illallah maka ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah dan harus tunduk melaksanakannya. Ayat-ayat yang mengungkapkan dua rukun ini banyak, di antaranya adalah firman Allah tentang ucapan Nabi Ibrahim, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian, selain (Allah) yang telah menciptakan diriku.” (QS. az-Zukhruf : 26).
Sedangkan rukun syahadat anna Muhammad rasulullah ada dua yaitu ; pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah dan sebagai rasul-Nya. Beliau adalah hamba, maka tidak boleh diibadahi dan diperlakukan secara berlebihan. Dan beliau adalah rasul maka tidak boleh didustakan ataupun diremehkan. Beliau membawa berita gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia.
Syarat-syarat la ilaha illallah adalah :
  • Mengetahui maknanya, lawan dari bodoh
  • Meyakininya, lawan dari ragu-ragu
  • Menerimanya, lawan dari menolak
  • Tunduk kepadanya, lawan dari membangkang
  • Ikhlas dalam beribadah, lawan dari syirik
  • Jujur dalam mengucapkannya, lawan dari dusta
  • Mencintai isinya dan tidak membencinya
Syarat-syarat anna Muhammadar rasulullah adalah :
  • Mengakui risalahnya secara lahir dan batin
  • Mengucapkan dan mengakuinya dengan lisan
  • Mengikutinya, yaitu dengan mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang
  • Membenarkan beritanya, baik yang terkait dengan perkara gaib di masa silam atau masa depan
  • Mencintai beliau lebih dalam daripada kecintaan terhadap diri sendiri, harta, anak, orang tua dan seluruh umat manusia
  • Menjunjung tinggi sabdanya di atas semua ucapan manusia dan mengamalkan sunah/tuntunannya
Konsekuensi Syahadatain
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 50 dengan sedikit perubahan dan penambahan
Konsekuensi syahadat la ilaha illallah adalah meninggalkan segala bentuk peribadahan dan ketergantungan hati kepada selain Allah. Selain itu ia juga melahirkan sikap mencintai orang yang bertauhid dan membenci orang yang berbuat syirik. Sedangkan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah menaati Nabi, membenarkan sabdanya, meninggalkan larangannya, beramal dengan sunnahnya dan meninggalkan bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan siapapun. Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-orang yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada tuntunannya.

Hukum Khiyar

00.15 Edit This 0 Comments »
Dlam praktik jual beli ada kalanya terjadi penyesalan diantara pihak penual danpembeli disebabkan kurang hati-hati, tergesa-gesa atau faktor lainnya.

Mengingat prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka-sama suka ('an taradhin minkum), maka syara' memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan , yaitu melangsungkan jual beli atau mengurungkannya.
memilih antara dua kemungkinan inilah yang dinamakan khiyar dalam akad jual beli. Hak untuk memilih antara dua kemungkinan tersebut sepanjnag masing-masing pihak masih dalam keadaan mempertimbangkan.

Macam Macam Khiyar
a. Khiyar Syarat
Yaitu khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual beli setelah mempertimbangkan dalam satu atau dua hari. Setelah hari yang ditentukan itu tiba , maka jual beli itu harus segera ditegaskan, antara diteruskan atau diurungkan. Khiyar syarat paling lama tiga hari dan berlaku pada segala macam jual beli.

b. Khiyar Majlis
yaitu kebebasan memilih bagi pihak penjul dan pembeli untuk melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih ditempat jual beli. Apabila kedua belah pihk telah terpisah dari majlis mak hilanglah hak khiyar sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi.

c. Khiyar aib
yaitu kebebasan memilih untuk melangsungkan akad jual belu atau membatalkannya bilamana pada barang terdapat cacat. Bagi pembeli apabila da cacat pada barang yang dibeliny, ia dapat mengembalikan barang tersebut dengan meminta ganti barang yang baik. Mengembalikan barang yang cacat itu hendaknya dengan segera karena melalaikan hal ini berarti rela kepada barang yang cacat, kecuali sebab ada halangan.

قال النبي صلعم أنت فى كل سلعة ابتحتها بالخيارى ثلاث ليال فإن رضيت فأمسك وإن سخطت فارددها على صاحبها
(رواه ابن ماجه)

عن عبد الله بن الحارث رفعه الى حكبم بن حزام ر ض قال قال رسو ل الله صلعم البيعان بالخيار مالم يتفرقا او قال حتى يتفرقا فإن صدق و بينا بورك لهما فى بيعهما وأن كتما وكذب محقت بركة بيعهما
(رواه البخارى )

Hukum Pinjam - Meminjam Barang

00.14 Edit This 0 Comments »
Pinjam-Meminjam
Menurut Tinjauan Al-qur’an dan Sunnah


  1. A. Muqodimah
Sejarah mencatat, dan kita semua mengetahui betapa susah dan pahitnya hidup ditengah-tengah negara yang sedang dilanda krisis, diantaranya adalah krisis moral, keyakinan dan yang tidak kalah pentingnya adalah krisis ekonomi. Setiap individu berharap serta berangan-rangan, bagaimana bisa hidup berkecukupan dan tidak kekurangan dari hal-hal yang dibutuhkan. Dan ini merupakan harapan yang sangat mustahil bisa tercapai. Karena pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain dan ini tidak dapat dipungkiri.
Manusia hidup erat hubungannya dengan muamalah dengan  individu yang lain. Masing-masing berusaha dengan berbagai upaya, untuk menciptakan suatu kondisi yang memudahkan keberlangsungan hidupnya. Tentunya didalamnya tidak lepas dari hubungan timbal balik, tolong menolong diantara sesama, lebih terkusus lagi dalam hal pinjam meminjam barang. Sehingga manusia sangat mudah mendapatkan barang yang ia inginkan dan tidak harus membelinya. Karena islam telah mengajarkan umat manusia untuk bebuat baik dan tolong-menolong diantaranya dalam masalah pinjam meminjam barang.
Akan tetapi ironisnya, banyak kita jumpai akhir-akhir ini, kalangan yang ingin memanfaatkan kesempatan ditengah-ditengah kesempitan orang lain. Mereka membantu dengan meminjami barang dengan motif untuk mendapatkan keberuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian tidak heran, seandainya banyak individu yang dirugikan dan merasa dizhalimi. Maka berangkat dari hal ini kami ingin mengupas dan membahas bagaimana islam memutuskan hal ini?

  1. B. Ta’rif Al-Qhordu
Al-qhordu menurut bahasa adalah potongan,[1] sedangkan menurut syar’i adalah menyerahkan uang kepada orang yang yang bisa memanfaatkannya kemudian ia meminta kembaliannya sebesar uang tersebut.[2]
Sedangkan menurut Sayid Sabiq Pinjaman adalah harta yang diberikan kreditur kepada debitur (orang yang meminjam). Kemudian debitur mengembalikan pinjaman tersebut  setelah dirinya mampu untuk mengembalikannya.[3]
Adapun menurut mazhab hanafi, pinjaman ialah harta yang dipinjamkan kepada orang lain, dengan maksud harta tersebut akan dikembalikan kembali, atau dengan ungkapan yang lebih tepat pimjaman ialah akad khusus yang disepakati oleh kedua pihak yaitu antara kreditur (orang yang meminjami) dan debitur (orang yang dipinjami) dalam masalah barang yang dipinjamkan, yang nantinya akan dikembalikan kembali.[4]
Contohnya, orang yang membutuhkan uang berkata kepada orang yang layak dimintai pinjaman “Pinjamkan untukku uang sebesar sekian, atau perabotan, atau hewan hingga waktu tertentu. Kemudian aku  kembalikan kepadamu pada waktunya. Orang dimintai pinjamanpun memberikan pinjaman uang kepada orang tersebut.

  1. C. Hukum Pinjaman dalam islam
Al-qhordhu disunnahkan bagi pemberi pinjaman berdasarkan dalil berikut. Firman Allah I, mengenai pahala orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain.
من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له وله أجر كريم(11)
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah I pinjaman yang baik, maka Allah I akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S Al-Hadid: 11)




Rosulullah bersabda,

من نفس عن أخيه  كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب سوم القيامة
” Barang siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari sauadaranya. Maka Allah I akan menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat.” (Diriwayatkan Imam Muslim)
Adapun bagi muqtarid atau peminjam, maka diperbolehkan karena Rosulullah pernah meminjam onta kepada Abu Bakar  Radiyallahu ‘anhu dan mengembalikan dengan onta yang lebih baik. Beliau bersabda,
إن من خير الناس أحسنهم قضاء
“Sesngguhnya manusia yang baik adalah orang yang paling baik pengembaliannya (utangnya).”(Diriwayatkan oleh Bukhari).
Dan Rosulullah r juga pernah besabda,
رأيت ليلة الأسرى بي على باب الجنة مكتوبا الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر فقلت: يا جبريل مابال القرض أفضل من الصدقة ؟ قال لأن السائل يسأل وعنده والمستعرض لا يستعرض إلا من حاجة
Ketika malam isra’, saya melihat diatas pintu surga tulisan yang berbunyi, Sedekah itu semisal dengan sepuluh (kebaikan) dan pinjaman itu semisal dengan delapan belas (kebaikan). Maka saya berkata kepada jibril, “Wahai jibril, mengapa pahala orang yang meminjamkan sesuatu itu lebih besar dari orang yang bersedekah?” Jibril menjawab, “Karena orang yang meminta (sedekah) itu, meminta sesuatu sedangkan dirinya mempunyai sesuatu itu. Sedangkan orang yang berhutang tidaklah ia berhutang melainkan untuk keperluannya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-baihaqi)
Demikian pula al-qhordu diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Kaum muslimin telah sepakat tentang bolehnya al-qhordu dan hal itu disunnahkan bagi para kreditur dan hukumnya mubah bagi para debitur berdasarkan dengan dalil-dalil diatas. Dan Abu darda’ pernah berkata mengenai hal ini,
لأن أقرض دينارين ثم يردا ثم أقرضهما أحب إلي من أن أتصدق بهما
“Sungguh dua dinar yang aku pinjamkan (kepada orang lain) kemudian uang tersebut dikembalikan kepadaku, setelah itu aku meminjamkannya kembali,  itu lebih aku sukai dari pada aku menyedekahkannya.”
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata,
قرض مرتين خير من صدقة مرة
“Meminjamkan sesuatu (kepada orang lain) sebanyak dua kali itu lebih baik dari pada sedekah yang dilakukan hanya sekali.”
Sedangkan menurut mazhab Hambali,
“Sedekah itu lebih utama dari pada meminjamkan sesuatu (kepada orang lain), maka dari itu tidak dosa bagi yang dipinjami sesuatu kemudian ia tidak memberikannya.

Diantara hukum pinjaman sebagai berikut:
  1. Pinjaman dimiliki dengan  diterima. Jadi jika debitur atau peminjam telah menerimanya, ia memelikinya dan menjadi tanggungannya.
  2. Pinjaman boleh sampai batas waktu tertentu. Tapi jika tidak sampai batas waktu tertentu itu lebih baik karena itu meringankan debitur.
  3. Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat dipinjamkan, maka sikembalikan utuh seperti itu. Naun jika telah mengalami perubahan, kurang atau bertanbah, maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya. Jika ada dan jika tidak ada maka dengan uang seharga barang tersebut.
  4. Jika pengembalian pinjaman tidak membutuhkan biaya tramportasi. Maka boleh dibayar ditempat manapun yang diinginkan kreditur jika merepotkan, maka debitur tidaj harus mengembalikan ditempat lain.
  5. Kreditur haram hukumnya mengambil manfaat dari pinjaman dengan penambahan jumlah pinjaman atau meminta kembalian pinjaman lebih baik atau manfaat lain yang keluar dari akad perjanjian jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk itikad baik dari debitur, itu tidak ada salahnya, karena Rosulullah r  memberi  Abu Bakar unta yang lebih baik dari unta yang dipinjamnya dan beliau bersabda,
إن من خير الناس أحسنهم قضاء
“Sesungguhnya menusia yang baik adalah orang yang paling baik pengembaliannya (utangnya).”(Diriwayatkan oleh Bukhari).

  1. D. Syarat-syarat dalam meminjam barang
    1. Besarnya pijaman harus diketahui dengan takaran, timbangan dan jumlahnya.
    2. Sifar pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
    3. c. Pinjaman berasal dari orang yang layak diminta pinjaman. Jadi pinjaman tidak syah dari orang yang tidak memeliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.[5]

  1. E. Akad dalam meminjam barang
Akad yang dipakai dalam meminjam barang ialah akad tamlik ( kepemilikan), maka tidak sempurna akad tersebut melainkan dilakukan oleh orang yang mampu melakukannya. Dan akad ini  dianggap tidak syah, jika tidak ada pelaksanaan ijab dan qobul antara kreditur dan debitur.
Dengan demikian hubungan pinjam meminjam ini mengharuskan adanya lafadz ijab dan qobul seperti akad yang dilakukan dalam jual beli dan pemberian. Sedangkan lafadz yang digunakan ialah lafadz meminjam atau setiap lafadz yang memiliki makna yang serupa dengannya.[6] Seperti, “Barang ini sekarang menjadi kepemilikanmu dan suatu saat kamu harus mengembalikannya kepadaku” [7]

  1. F. Hukum menentukan waktu pengembalian
Jumhur fuqoha’ berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi kreditur menentukan waktu pengembalian barang yang ia pinjamankan. Sedangkan menurut imam Malik diperbolehkan menentukan waktu pengembaliannya dan  harus menetapi syarat yang sudah ada.[8]

  1. G. Mengambil manfaat dari barang pinjaman
Sesungguhnya adanya pinjam-meminjam tersebut bermaksud untuk mendekatkan hubungan kesetiakawanan antara sesama muslim dan sebagai bentuk pertolongan kepada orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah keberlangsungan hidup diantara sesama muslim, bukan sebagai sarana untuk mencari atau mengais rezeki apalagi dijadikan sarana untuk memperdayai orang lain.
Dengan demikian tidak boleh bagi sang peminjam mengembalikan pinjamannya kepada debitur, melainkan ia harus mengembalikan barang yang ia pinjam sebelumnya atau mengembalikan dengan barang yang serupa dan tidak menambahnya. Karena ada sebuah  qoidah fikih yang berbunyi,
كل قرض جر نقعا فهو ربا
“Setiap pinjaman yang yang difungsikan untuk mendatangkan manfaat, maka itu termasuk riba.”
Larangan disini bersifat muqayad, artinya setiap manfaat  yang  ada karena kesepakatan antara kedua belah pihak dan diketahui bersama. Tapi jika kreditur tidak mensyaratkan hal tersebut atau tidak memberitahukannya. Maka diperbolehkan bagi debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan sesuatu yang lebih baik  atau melebihkannya. Dan bagi kreditur tidak mengapa menerima yang demikian itu dan hukumnya tidak makruh.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan rosulullah r kepada Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim bahwa Jabir bin Abdullah pernah berkata,
كان لي على رسول الله حق فقضاني وزداني
“(Ketika itu), Rosulullah r mempunyai hak yang harus dipenuhi terhadap diriku, kemudian beliau menunaikan hak tersebut dan memberikannya kepadaku dengan melebihkan (kembaliannya).” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad). [9]
Dengan demikian pedoman yang dipakai dalam hal ini ialah setiap pinjaman yang didalamnya diberlakukan syarat, yaitu harus ada tambahan  ketika barang  dikembalikan, maka hukumnya haram. Ibnu mundzir pernah berkata, Para ulama telah sepakat, jika seorang yang kreditur membuat syarat kepada debitur, supaya menambah pengembalian barang yang ia pinjamkan, maka ini termasuk riba.[10]
Dan hal ini serupa dengan fatwanya Dr.Yusuf Qaradawi, ketika beliau ditanya tentang seseorang yang memberi pinjaman uang sebanyak seribu dirham kepada orang lain dan dalam jangka waktu tertentu orang yang berhutang mengembalikan utang itu sebesar seribu seratus atau seribu dua ratus dirham. Apakah perbuatan ini termasuk riba?
Beliau menjawab, Tidak ada perbedaan antara emas, perak atau uang kertas. Dalam bermuamalah, uang kertas dalam hal ini menduduki posisi emas dan perak dalam muamalah, karena itu hukumnya haram bila dikelola secara riba. Saya tidak melihat adanya alasan untuk meragukan hal ini. Maka barang siapa mengambil bunga atas uang kertas atau memberi bunga, maka ia telah memasuki wilayah hukum riba yang diharamkan dan diancam akan diperangi oleh Allah I dan Rosulnya. Dan barang siapa yang bersekutu dalam akad riba ini dia terkutuk menurut lisan Nabi Muhamad r yang telah melaknat pemakan hasil riba, yang menulisnya dan yang menjadi saksi.[11]

  1. H. Ketentuan Barang yang boleh dipinjamkan
Diperbolehkan meminjamkan pakaian dan hewan karena telah ada ketetepan dari Rosul r, yaitu beliau pernah meminjam onta yang masih muda. Demikian juga barang yang bisa ditakar dan ditimbang atau barang yang berbentuk barang perniagaan maka barang tersebut syah atau  boleh dipinjamkan kepada orang lain. Bahkan  diperbolehkan pula meminjamkan barang yang berbentuk roti adanon, hal sebagaimana telah dilakukan oleh Ummul mukminin A’isyah dirinya berkata,
قلت يارسول الله : إن الجيران يستعرضون الخبز والحمير ويردون الزيادة ونقصانا فقال لا بأس إنما ذلك من
مرافق الناس لا يراد به الفضل
Saya berkata kepada Rosululloh r, Wahai Rosulullah, sesungguhnya tetangga (kita) meminjam roti dan roti yang sudah diadoni, kemudian mereka mengembalikannya dengan melebihkannya dan mengurangainya? Maka Rosulullah bersabda, “Tidak mengapa, karena yang demikian itu merupakan bentuk kebersamaan, bukan berharap sesuatu yang lebih dari (pinjaman tersebut}.”[12]
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali mereka berpendapat,
Setiap barang (harta) yang biasa dijual-belikan dengan cara “Penjualan salam”, maka barang tersebut boleh dipinjamkan. Baik barang tersebut berupa barang yang bisa ditakar atau ditimbang atau barang yang tidak bisa ditimbang. Contoh dari kedua macam tersebut seperti, emas, perak, berbagai jenis makanan, barang-barang perniagaan atau hewan dan semisalnya. Karena Rosulullah r pernah meminjam onta yang masih berumur masih muda. Padahal onta tersebut tidak bisa ditakar maupun ditimbang.
Karena ketetapan yang dipakai dalam hal ini ialah setiap barang yang biasa dijualkan belikan dengan penjualan salam yang memiliki sifat dan wujud yang jelas, maka barang tersebut boleh dipinjamkan. Sedangkan barang yang termasuk dalam katagori ini yang tidak boleh untuk dipinjamkan adalah barang yang berbentuk mutiara atau yang semisalnya. Maka barang ini tidak boleh dipinjamkan, karena suatu saat akan dikembalikan kembali.[13] Dan Abu Hurairah pernah berkata, Tidak boleh meminjamkan barang yang tidak bisa ditakar dan ditimbang, karena barang tersebut tidak ada yang serupa bentuknya, seperti mutiara.
Sedangkan pinjaman yang berbentuk anak adam ataun manusia, mengenai hal ini Imam Ahmad pernah berkata, “Hukumnya makruh meminjamnya, dan larangan disini bersifat makruh tanzih.” Sedangkan Al-Muzani dan Ibnu Juraij membolehkannya. Adapun Al-Qhodi memilih atau mengambil pendapat yang pertama, yaitu hukumnya makruh tanzih meminjam anak adam atau manusia.

Hukum Jual Beli

00.12 Edit This 0 Comments »
Persyaratan dalam transaksi jual-beli sering kali ditemukan. Terkadang orang-orang yang berjual beli atau salah satu dari keduanya membutuhkan adanya satu pensyaratan atau lebih, maka hal ini menunjukan pentingnya membahas tentang syarat-syarat tersebut dan menjelaskan apa yang sah dan tidak sah serta yang wajib dalam syarat jual beli.
Para Fuqaha rahimahumullah mereka mendefinisikan syarat dalam jual beli yaitu salah satu dari yang berjual beli mewajibkan kepada yang lainnya dengan sebab akad yang mengandung manfaat. Menurut mereka syarat dalam jual beli tidaklah teranggap untuk dilakukan kecuali jika disyaratkan pada saat akad. Maka tidak sah syarat sebelum atau setelah akad.
Syarat Jual Beli

Syarat dalam jual beli terbagai ke dalam dua :
1. Syarat yang sah
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad

Syarat semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: ”Orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syaratmereka.” (Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan karena pada asalnya syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam.
Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua macam:
1. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera berbeda-beda mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat yang diminta, pent)
2. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat dia menjahitkannya.
Kedua: Syarat yang rusak (tidak sah)

Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam :
1.
Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri
Misalnya salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini seharga ini, dengan syarat engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
2. Syarat yang rusak dalam jual beli
Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun ada seratus syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu ‘anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang membebaskannya” (Shahih Al Jami’ : 2226)
Maka semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukum-hukum jual beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual beli, sehingga dia berada di atas bashirah (ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syarat-syarat yang rusak (tidak sah)
(Sumber Rujukan: Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya, Oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan)

Bulan Ramadhan

00.09 Edit This 0 Comments »
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu bahwasanya Nabi bersabda: “Ummatku telah diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya ketika bulan Ramadhan: 1) Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada minyak kesturi di sisi Allah, 2) Para Malaikat beristighfar untuk mereka hingga berbuka, 3) Allah memperindah Surga-Nya seiap hari, seraya berfirman kepadanya: “Hampir-hampir para hamba-Ku yang shalih akan mencampakkan berbagai kesukaran dan penderitaan lalu kembali kepadamu,” 4) Syaithan-syaithan durjana dibelenggu, tidak dibiarkan lepas ssepeerti pada bulan-bulan selain Ramadhan, 5) Mereka akan mendapat ampunan di akhir malam.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu terjadi pada malam Lailautl Qadar?” Beliau menjawab, “Bukan, namun pelaku kebaikan akan disempurnakan pahalanya seusai menyelesaikan amalanya.”1

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimain
Saudara-saudaraku, ini adalah lima perkara yang Allah persiapkan untuk kalian. Dengan lima perkara tersebut, kalian mendapat kekuhsusan dari Allah di atara ummat-ummat lainnya. Semua itu diberikan Allah untuk menyempurnakan berbagai nikmat-Nya kepada kalian. Sunnguh betapa banyak nikmat dan ketamaan yang telah Allah berikan kepada kalian, sebagaimana firman-Nya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS Al-Imran [3] : 110)
Perkara Pertama
Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada harumnya minyak kesturi di sisi Allah.2 Kata ( ), huruf kha’-nya dibaca dengan fathah atau dhammah, artinya adalah perubahan bau mulut ketika lambung kosong dari makanan. Bau ini dibenci manusia, namun lebih wangi daripada minyak kesturi di sisi Allah sebab ia terlahir dari ketaatan kepada-Nya. Apa saja yang timbul dari ibadah dan ketaatan kepada Allah tentu akan dicintai oleh-Nya, serta pelakukan akan diberikan sesuatu yang lebih baik sebagai pengganti. Tidakkah engkau mengetahui bahwa orang yang mati syahid di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat-Nya itu akan datang pada hari Kiamat dengan darah yang mengalir, warnanya merah darah, namun baunya wangi minyak kesturi?
Perkara Kedua
Para Malaikat akan beristighfar untuk orang-orang yang mengerjakan ibadah puasa hingga mereka berbuka. Para Malaikat adalah hamba-Nya yang dimuliakan di sisi-Nya, sebagaimana Allah mensifati mereka dalam firman-Nya: “…Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66] : 6)
Maka dari itu, sungguh layak apabila Allah mengabulkan doa para Malaikat untuk orang yang berpuasa. Sebab mereka memang telah diizinkan untuk itu. Allah mengizinkan para Malaikat untuk beristighfar bagi mereka untuk mengangkat, meninggikan penyebutan, serta menjelaskan keutamaan puasa ummat ini. Makna istighfar adalah meminta ampunan, yaitu dengan menutupi dan memaafkan dosa, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah keinginan sekaligus tujuan tertinggi. Setiap anak Adam pasti sering berbuat kesalahan dan bersikap melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Sehingga mereka benarbenar membutuhkan ampunan Allah.
Perkara Ketiga
Allah mempeerindah Surga setiap hari sebagai persiapan untuk para hamba-Nya yang shalih dan dalam rangka memotivasi mereka untuk memasukinya. Allah berfirman kepada surge: “Hampir-hampir para hamba-Ku yang shalih mencampakkan beban dan penderitaan…” Yang dimaksud dengan hadits ini adalah mereka mencampakkan beban hidup di dunia dan susah payah serta pendeeritaannya lalu menyingsingkan lengan baju untuk mengerjakan amal-amal shalih yang dengannya mereka hidup bahagia di dunia dan akhirat dan dapat mengantarkan merreka ke Surga, negeri kedamaian dan kemuliaan.
Perkara Keempat
Syaithan-syaithan pembangkan diikat dengan rantai dan belenggu sehingga mereka tidak bias menyesatkan hambahamba Allah yang shalih dari kebenaran dan tidak dapat mencegah mereka dari kebaikan. Ini adalah salah satu bentuk pertolongan Allah kepada para hamba-Nya. Musuh ummat ini diikat sehingga tidak bias mengajak golongan mereka supaya menjadi penghuni Neraka yang menyala- nyala. Oleh sebab itu, dapat engkau saksikan bahwa pada bulan ini orang-orang shalih mempunyai keinginan yang lebih tinggi untk melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejelekan dibandingkan pada bulan-bulan lainnya.
Perkara Kelima
Allah mengampuni ummat Muhammad s pada setiap akhir malam bulan ini. Jika mereka melaksanakan apa yang seharusnya dikerjakan pada bulan yang mulia ini, berupa puasa dan shalat, maka Allah akan memberikan karunia dengan menyempurnakan pahala mereka ketika telah selesai mengerjakan amal-amal mereka. Sesungguhnya orang yang beramal akan disempurnakan pahala amalnya setelah selesai mengerjakannya. Allah memberikan karunia kepada para hamba-Nya dengan pahala dari tiga sisi:
Pertama: Allah mensyariatkan amal-amal shalih kepada mereka sebagai sebab terampuninya dosa dan terangkatnya derajat mereka. Sekiranya Allah tidak mensyariatkan hal itu, tentulah mereka tidak akan beribadah kepada-Nya dengan amal-amal shalih tersebut. Sebab ibadah tidak diambil melainkan dari wahyu Allah kepada Rasul-Nya.Oleh karena itu, Allah mengingkari orang-orang yang mengada-adakan syariat selain diri-Nya dan menjadikan hal tersebut sebagai kesyrikan. Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy-Syuura [42] : 21)
Kedua: Mereka diberi taufik oleh Allah untuk mengerjakan amal shalih yang telah ditinggalkan kebayakan manusia. Sekiranya bukan karena taufik dan pertolongan Allah kepada mereka, tentulah mereka tidak akan mengerjakannya. Hanya milik Allah lah segala keutamaan dan karunia dalam hal ini.
Allah berfirman:
“Mereka merasa telah memberi ni’mat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi ni’mat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orangorang yang benar.”” (QS Al-Hujarat [49 : 17)
Ketiga: Allah member karunia dengan pahala yang melimpah. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan jauh lebih banyak daripada itu. Karunia berupa amal dan pahala berasal dari Allah semata, segala puji bagi-Nya. Dialah pemilik, pemelihara dan penggatur alam semesta.
Saudara-saudaraku, Ramadhan adalah nikmat yang besar bagi orang-orang yang mendapatinya dan menunaikan haknya. Yaitu, dengan kembali kepada Rabb-nya dari kemaksiatan menuju ketaatan kepadaNya, dari kelalaian menuju Ingat kepada- Nya, dan dari jauhnya diri menuju taubat kepada-Nya.

Hari Raya Idul Adha

00.07 Edit This 0 Comments »
Perbedaan dalam menyambut hari Raya Idul Adha dikalangan ummat muslim
perlu disikapi dengan toleransi. Perbedaan itu diharapkan tidak dibesar-besarkan.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum PP MUhamadiyah Din Syamsudin saat
menerima Presiden Muhamadiyah Mauritus, Farad Abdul Muthallib di
kantornya, Jl Menteng Raya, Jakarta, Minggu (14/11/2010).

"Kita jaga toleransi, tidak perlu dibesarkan. Ini atas dasar keyakinan
agama. 10 Dzulhijah hari Selasa, silahkan. Rabu silahkan," kata Din Syamsudin.

Menurut Din, umat islam dianjurkan puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Kebetulan menurut perhitungan, tanggal 9 Dzulhijah jatuh Senin bertepatan dengan jamaah haji besok wukuf.

"Maka sholat Idul Adha tanggal 16 November, Selasa," imbuh Din memberi alasan.

Din meminta agar pejabat ataupun pemimpin perusahaan tidak melarang pegawainya yang ingin melakukan salat Idul Adha pada Selasa (16/11). Selain itu, Din juga menyarankan agar hewan kurban sebaiknya disalurkan ke daerah bencana.

"Muhamadiyah memfatwakan akan lebih baik berkurban ke tempat bencana," imbau Din.